Monday, May 16, 2016

Inilah Ibunda boru Sinaga, 12 anak dan perjuangannya Saat kemarau panjang tahun 1994

L.br Sinaga
Kami tinggal di Pulau Samosir, tepatnya di Sabungan ni huta
Pelabuhan yang biasa dan terdekat dengan rumah kami
adalah pelabuhan Onan Runggu

Ibunda boru Sinaga sejak tahun 1992, telah di tinggal sang Ayah untuk selamanya, dan menjadi Kepala rumah tangga dan ibu buat kami anaknya.
Kami anak anaknya berjumlah 12 orang,dan setelah Bapak kami meninggal, bukanlah hal yang mudah bagi Ibu kami untuk menyekolahkan kami,

Hanya bertani seadanya,dan memang itulah mata pencarian di kampung kami. Begitu berat perjuangan Ibu saya dalam melanjutkan kehidupan ini,
Entah memang sudah takdir atau keberuntungan belum berpihak kepada kami anak anaknya ini, kami anak - anaknya
belum bisa bangkit dari yang namanya hidup sangat sederhana atau kemiskinan ini.



Saya sendiri pembuat blogger ini adalah anak ke 10 dari 12 bersaudara,  saya adalah anak paling bungsu dari saudara laki - laki.
Hal yang paling menyedihkan yang saya ingat tentang kehidupan kami yaitu pada tahun 1994
Saat itu musim kemarau sangat panjang, nyaris tanaman tak ada yang bisa di panen, tanah sawah pada retak - retak, ubi tak bisa berkembang, adapun hanya beberapa saja yang ada umbinya.

L.br Sinaga


Padahal saat itu kakak dan abang saya membutuhkan biaya sekolah,ada yang sekolah di siantar dan ada juga di Raya, ada 4 orang saat itu kakak abang saya yang sedang sekolah di SMK.
Begitu juga saya dan adek perempuan 2 orang sedang bersekolah.
Solusinya saat itu adalah Utang ke sana kemari.
Saat saya di tagih dari sekolah untuk membayar uang sekolah, Ibu saya berkata, katakan pada gurumu "nanti setelah panen kacang tanah" baru di bayarkan. Akupun berkata yang sama kepada Guru saya.

Karena pada waktu itu ekonomi di daerah Toba sangat menyedihkan, pihak yayasan pun memaklumi keadaan itu dan mereka hanya bisa mengingatkan saja dan tak pernah memaksa.
2 minggu setelah itu kacang yang di maksudpun di panen, dan hasilnya hanya Rp. 3.250,-
Uang sekolah saya dan adek - adek saya sekitar 3 ribu rupiah.

Saya masih ingat waktu itu saat menjual kacang tersebut ke pekan (Onan - bahasa toba), sisa uang tersebut 250 perak, mama saya hanya membeli garam, minyak goreng, Dan ikan asin 1 kg utang.
Setelah saya pulang sekolah, makan siang yang ada hanya ubi 3 potong.
setelah makan seperti biasa saya ke ladang membantu mama, Sore pun tiba saat itu mulai gemuruh pertama kali setelah sekian lama, pertanda akan hujan, senang rasanya... namun hal itu takkan mengubang tanaman tiba - tiba langsung berbuah bukan? butuh waktu

Karena tak ada cadangan untuk makan malam, saya dan Mama pergi ke tobbak - tobbak ( sejenis hutan)
mencari keladi di pinggiran sungai kecil (sungainya tanpa air lagi).
Di pinggiran sungai tersebut banyak tumbuh keladi liar, kami pun mengambilnya sekitar 1 goni.
dan sudah banyak juga sebenarnya bekas - bekas galian orang lain.
Itulah makanan pokok kami saat itu, beras adalah makanan yang langkah saat itu.

Itulah perjuangan ibunda boru Sinaga terhadap kami anak - anaknya ini agar bisa makan.
Perjuangan yang sama juga akan di lakukan semua orangtua di dunia ini untuk membahagiakan anaknya, hanya saja cara dan situasinya yang berbeda.

Terimakasih Ibu, pengorbananmu sepanjang masa. Amen




No comments:

Post a Comment